Demokrasi Digerus: Tragedi 25 Agustus dan Orkestrasi Politik
Rahman Fauzi - Kaderisasi Hima Persis Kota Bandung
9/7/20256 min read
Tragedi demonstrasi di negeri ini bukanlah hal baru. Sebagai negara demokrasi, wajar bila suara rakyat kerap hadir dalam bentuk protes, terutama ketika kebijakan penguasa dianggap carut-marut dan tidak berpihak pada kepentingan umum. Sejarah bangsa ini mencatat bahwa gelombang perlawanan rakyat selalu muncul ketika keadilan dirasa diabaikan.
Senin, 25 Agustus 2025, menjadi hari yang akan dikenang. Rakyat turun ke jalan, marah atas kesewenang-wenangan penguasa menaikkan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat di tengah kondisi buruh dengan upah rendah dan guru yang masih minim tunjangan. Protes ini memuncak ketika tindakan represif aparat Brimob menewaskan seorang driver ojol bernama Affan Kurniawan (21 tahun) setelah dilindas kendaraan taktis. Komnas HAM menyebut peristiwa ini sebagai indikasi excessive use of force serta bentuk pembatasan kebebasan berpendapat.
Kematian Affan menjadi pemantik penyebaran aksi di berbagai kota: Bandung, Yogyakarta, hingga Makassar. Dalam rentang 28 Agustus hingga 2 September 2025 tercatat 10 korban jiwa, di antaranya Iko Julian Junior, Andika Luthfi Falah, Syaiful Akbar, dan Sarinawati. Sayangnya, protes yang awalnya lahir dari aspirasi rakyat kemudian dicemari oleh provokasi berupa perusakan, penjarahan, hingga serangan terhadap rumah pejabat. Selain itu dari kehadiran provokator tersebut merambat kepada, pemadaman CCTV kota, pembatasan fitur live sosial media tiktok dan ruang gerak jurnalis pun turut dibatasi.
Tiktok mengeluarkan kebijakan untuk menonaktifkan fitur live, yang menjadi unik pada penontaktifan tersebut, itu terjadi saat setelah kerusuhan hadir. Tentunya ini bukanlah tindakan prefentif melainkan sebuan Tindakan nyata atas pembungkaman. Dari kebijakan yang keluar setelah terjadinya tragedy ini maka menimbulkan pula spekulasi liar berkaitan dengan apakah kebijakan ini merupakan sebuah permintaan dari pemerintah kepada pihak penyedia aplikasi tersebut ataukah tidak. Karena pada kondisi dilapangan yang terjadi ialah dengan matinya fitur live ini, maka laju perputaran ekonomi pada UMKM pun turur terhambat. Pemerintah seharusnya bisa melihat lebih dalam dan holistik terhadap kebijakan yang di minta oleh pihak ekternal. Kejadian yang terjadi tersebut tentunya menambah kegagalan pemerintah dalam mempertahan kan fitur live untuk pelaku UMKM dan membuat arus ekonomi digital tersendat, tidak berjalan maksimal pada sebuah platfrom media sosial, mengingat TikTok sekarang tidak hanya dijadikan sebagai media sosial melaikan juga sebagai platfrom e-commerce yang terintegrasi.
Konten pada aplikasi tiktok ditampilkan dengan algoritma yang menganalisis prilaku pengguna lewat interaksi like, komen, dan share, lalu jumlah menit tonton. Semakin besar jumlah interaksi yang dihasilkan maka akan membuat video terdorong kepada pengguna dengan semakin mudah, kedua algoritma pada aplikasi tiktok dirancang dengan memprioritaskan viralitas, jika algoritma membaca video yang dibuat oleh konten dan akun yang baru adalah sesuatu yang sedang naik daun maka akan menciptakan potensi untuk disebarkan dengan cepat dan luas lalu sifat dari aplikasi tiktok ini adalah acak, artinya informasi bisa menyebar kepada audiens yang sangat luas dan beragam bahkan diluar lingkungan sipengguna.
Bagi rakyat yang menggeluti UMKM digital dengan memanfaatkan fitur live di tiktok, tentunya kebijakan telah menghambat perputaran ekonomi bagi pelaku usaha, disamping mengurangi akses informasi, melainkan juga bentuk pembungkaman yang menambah amarah tidak dari pelaku unjuk rasa tapi juga penggelut UMKM digital. Mengacu kepada alasan dari dari pembatasan fitur live tiktok ini karena aksi unjuk rasa dinilai sebagai aksi kekerasan yang tidak pantas untuk di siarkan. Lalu untuk pelaku UMKM tetap bisa menggunakan sosial yang biasa nya digunakan. Namun temuan lapangan mengatakan bahwa pelaku UMKM terkena dampak karena tidak bisa melakukan kegiatan penjualan dengan maksimal.
Media dan pers turut mendapatkan pembatasan dengan dilarangnya menyiarkan aksi unjuk rasa. Keterangan pun diklarifikasi sebagai hoax oleh mentri komunikasi dan digital (KOMDIGI) namun dilapangan pers mendapatkan Tindakan represif dari aparatur keamanan yang dikerahkan. Seakan perlindungan pers diabaikan seperti hak masyarakat dalam menyalurkan aspirasi di muka publik. Jika disinyalir adalah benar pembatas-pembatasan yang terjadi adalah untuk membungkam atau tidak menampilkan sesuatu yang dianggap sebagai Tindakan kekerasan, utamanya pada media sosial yang pada hari ini menjadi alat pertukaran arus informasi utama pemerintah dapat dengan benar menerapkan aturan pada taraf usia pengunduh atau pengguna. Sebagai negara yang menjadi salah satu paling besar didunia tentunya ini tidak akan mengurangi daya jual melainkan menjadi nilai tambahan karena Indonesia sebagai negara besar mampu dengan baik mengatur segalanya dengan tepat sasaran.
Meninjau kembali tragedi 25 Agustus tentunya tidak muncul secara tiba-tiba. Indonesia sudah dan sedang mengalami berbagai konflik internal yang tak kunjung selesai. Sebelum tragedi tersebut, di Pati, Jawa Tengah terjadi demonstrasi besar akibat kenaikan pajak hingga 250%. Alasan Bupati Pati menaikkan pajak sebesar itu adalah karena 14 tahun sebelumnya tidak pernah ada kenaikan. Lebih jauh, dilansir dari The Economic Times, setidaknya ada empat isu yang menjadi bahan bakar kemarahan rakyat berbulan-bulan sebelumnya. Pertama, kesulitan ekonomi: lebih dari 42.000 pekerjaan di sektor manufaktur hilang, ditambah pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan, serta inflasi yang menggerogoti upah buruh. Tercatat sejak Januari 2025 tingkat inflasi Indonesia berada di angka 0,75% dan pada Juli 2025 naik menjadi 2,31% (Trading Economics, 2025). Kenaikan inflasi ini berdampak pada melemahnya nilai mata uang, meningkatnya suku bunga, memburuknya distribusi pendapatan, serta memicu ketidakpuasan sosial akibat kesenjangan. Kedua, janji populis yang tak kunjung dipenuhi. Salah satu sorotan masyarakat adalah janji pangan Presiden Prabowo. Program ini dinilai tidak tepat sasaran dan terlalu mahal, sehingga banyak rakyat merasa tidak terwakili. Ketiga, tekanan pajak. Pungutan baru, termasuk kenaikan PPN, sangat memukul pelaku UMKM dan konsumen.
Hal ini memperkuat anggapan bahwa rakyat hanya membayar kenyamanan kaum elit, sementara mereka sendiri kurang mendapat perhatian. Dari polemik tersebut lahir masalah ke empat dalam bentuk tagar #IndonesiaGelap sejak awal 2025. Tagar ini menggambarkan rasa frustrasi masyarakat sipil yang merasa dimarjinalkan oleh proyek-proyek elitis pemerintah (Global, 2025). Keunikan lain terjadi beberapa hari sebelum demonstrasi di 25 Agustus, media sosial seperti TikTok dan X dipenuhi seruan aksi dengan tagar #BubarkanDPR.
Uniknya, seruan itu tidak hanya datang dari individu, tetapi juga dari ribuan akun dengan pola aktivitas serupa. Dugaan pun menguat bahwa akun-akun tersebut adalah buzzer politik yang terafiliasi dengan mantan pejabat pemerintahan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah mobilisasi massa murni berasal dari keresahan rakyat, atau ada orkestrasi digital yang sengaja dibangun untuk memperbesar eskalasi? Mengingat kondisi negara yang memang sedang tidak baik-baik saja, konflik ini seolah sengaja dipelihara untuk memantik amarah tambahan dari masyarakat sipil. Kehadiran buzzer dalam politik Indonesia memang bukan hal baru. Mereka kerap menggaungkan narasi demi kepentingan para cukong. Pola penyebaran narasi #BubarkanDPR menunjukkan bagaimana ruang digital dapat berfungsi sebagai pemantik gerakan politik di dunia nyata. Situasi semakin diperkeruh dengan manuver amoral elite politik yang tampak abai terhadap penderitaan rakyat. Hal ini memperlihatkan keterkaitan erat antara media sosial sebagai ruang digital dengan pertarungan politik di dunia nyata, yang membuat dinamika demokrasi semakin kompleks. Pertarungan narasi di media sosial hingga meledaknya unjuk rasa perlu menjadi refleksi bersama. Apalagi pertarungan elite ini menelan korban dari masyarakat sipil yang hanya menginginkan masa depan lebih baik.
Gerakan populis pun hadir bersamaan, seakan ingin memanfaatkan empati rakyat. Bila merujuk pada Tan Malaka bahwa “dalam revolusi terdapat darah rakyat,” patut dipertanyakan: apakah wajar darah rakyat yang gugur dibayar dengan tindakan populis, video permintaan maaf dengan pakaian bernuansa agamis, namun tidak pula membawakan kesadaran kepada pemangku kesadaran untuk segera berbenah. Indonesia saat ini tengah mengalami bonus demografi—sebuah peluang besar bila dimanfaatkan dengan bijak. Seperti dikatakan Ferry Irwandi dalam acara Rakyat Bersuara di iNews (Rabu, 3 September 2025): “Negara ini mengalami bonus demografi, mereka pintar bukan karena pemerintahnya yang baik, tapi karena arus teknologi yang sangat besar. Jangan sampai negara kita menjadi negara pertama yang gagal memanfaatkan bonus demografi.” Selain bonus demografi, Indonesia juga tergabung dalam G20, forum kerja sama ekonomi global. Dengan posisi ini, perhatian terhadap Indonesia bukan lagi hanya lokal, melainkan juga internasional. Karena itu, perjalanan Presiden Prabowo ke luar negeri di tengah polemik internal turut menuai sorotan media asing. The Straitstimes media asing singapura menilai langkah tersebut meninggalkan Indonesia ini sedang dalam kondisi genting, disamping kepentingan Presiden Prabowo yang membawa kepentingan ekonomi, yang dinilai bisa menarik investasi asing, khususnya dari tingkok untuk pembangunan nasional, peran geopolitik, sebagai negara yang nonblok ingin menunjukkan diri sebagai negara yang bisa berhubungan baik dengan segala pihak. Namun, apakah kepentingan luar negeri itu dapat berjalan maksimal ketika kondisi domestik sedang krisis? Tragedi 25 Agustus bukan sekadar masalah dalam negeri. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dan anggota G20, gejolak ini menggema hingga global.
Perspektif geopolitik menjadikan tragedi ini sorotan dunia, terutama terkait konsistensi Indonesia dalam menegakkan HAM. Bila penyelidikan tidak transparan, reputasi Indonesia akan merosot di mata internasional. Kembali pada narasi awal, pergulatan protes sipil terhadap pemerintah mencerminkan rapuhnya kontrak sosial antara rakyat dan negara. Dari kacamata investor, stabilitas adalah faktor utama sebelum menanamkan modal. Kebijakan fiskal yang dianggap tidak adil—seperti kenaikan tunjangan dewan di tengah inflasi dan kenaikan harga pangan—akan dianggap sebagai sinyal risiko. Pemadaman CCTV dan pembatasan live media sosial juga memunculkan pertanyaan geopolitik mengenai kedaulatan digital. Apakah negara berhak mengendalikan arus informasi di era globalisasi? Terlebih, Indonesia adalah negara demokrasi yang seharusnya menjamin kebebasan berpendapat. Perusahaan teknologi pun bisa saja berhitung ulang untuk beroperasi di Indonesia, meski pasar digitalnya sangat besar. Dalam tataran ideologi, Indonesia selama ini disebut sebagai “laboratorium demokrasi dunia.” Namun, tragedi ini justru menyingkap paradoks demokrasi: praktik represif oleh aparatur negara dan pernyataan ambigu presiden yang justru menaikkan pangkat apparat yang terluka, sementara rakyat juga menjadi korban. Tragedi domestik tidak pernah berdiri sendiri. Ia akan bergaung ke panggung dunia, memengaruhi reputasi, ekonomi, dan hubungan internasional. Tragedi 25 Agustus 2025 adalah peringatan keras bahwa demokrasi harus dirawat dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberanian menghadapi kritik. Indonesia dituntut bukan hanya menuntaskan luka dalam negeri, tetapi juga menjaga wibawa di mata dunia. Bila gagal, tragedi ini akan dikenang bukan hanya sebagai duka bangsa, tetapi juga titik lemah dalam perjalanan demokrasi Indonesia di panggung global