Hima Persis kritik pendapatan DPRD Jabar: Potret ketidakadilan di tengah kehidupan rakyat

Riyan Hidayatullah, S.I.Kom (Ketua PW Hima Persis Jawa Barat)

9/9/20252 min read

Demokrasi sejatinya menghadirkan wakil rakyat yang berfungsi memperjuangkan aspirasi publik, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menjadi teladan etika politik. Namun, ketika wakil rakyat justru menikmati fasilitas dan tunjangan berlimpah yang bersumber dari uang rakyat, sementara masyarakat masih bergelut dengan masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial, maka wajar bila publik merasa dikhianati. Fenomena ini tergambar jelas dalam besaran gaji dan tunjangan anggota DPRD Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan laporan harian Pikiran Rakyat (9 September 2025), alokasi gaji dan tunjangan untuk 120 anggota DPRD Jawa Barat pada tahun anggaran 2025 mencapai Rp177,4 miliar. Jika dirata-ratakan, setiap anggota DPRD menerima sekitar Rp123 juta per bulan. Angka ini jelas mencengangkan, mengingat masih banyak masyarakat Jawa Barat yang berjuang hidup dengan upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp2,1 juta per bulan pada 2025. Artinya, satu anggota DPRD mendapatkan pendapatan hampir 60 kali lipat UMP.

Rinciannya pun menunjukkan betapa royalnya alokasi tunjangan, antara lain:
Belanja Tunjangan Alat Kelengkapan Lainnya DPRD: Rp42,5 miliar, belanja Tunjangan Komunikasi Intensif Pimpinan & Anggota DPRD: Rp30,2 miliar, belanja Uang Paket DPRD: Rp379,9 juta, belanja Jaminan Kecelakaan Kerja DPRD: Rp51,8 juta, belanja Uang Jasa Pengabdian DPRD: Rp30,3 miliar, belanja Tunjangan Keluarga DPRD: Rp759,7 juta, belanja Jaminan Kematian DPRD: Rp93,6 juta, belanja Pembayaran PPh kepada Bendahara DPRD: Rp610,8 juta dan berbagai pos lainnya yang menambah akumulasi fantastis.

Kondisi ini menimbulkan ironi mendalam. Di satu sisi, rakyat Jawa Barat masih dibebani harga kebutuhan pokok yang melambung, tingginya biaya pendidikan, pengangguran terbuka yang mencapai jutaan jiwa, serta ketimpangan pembangunan antarwilayah. Serta yang masih hangat, kasus bunuh diri yang marak dan gizi buruk di beberapa daerah karena ketimpangan pendapatan ekonomi.

Di sisi lain, wakil rakyat hidup dengan fasilitas yang jauh di atas standar kesejahteraan publik. Fenomena ini bukan hanya masalah etis, tetapi juga masalah moral dan keadilan sosial.

Tunjangan besar yang tidak diukur berdasarkan kinerja legislasi, kondisi fiskal daerah, dan situasi sosial-ekonomi masyarakat hanya akan memperlebar jurang antara rakyat dengan wakilnya. DPRD seharusnya menjadi contoh pengelolaan anggaran yang bijak, bukan menjadi simbol elitis yang menikmati kemewahan di tengah penderitaan rakyat.

Oleh karena itu, reformasi tunjangan DPRD menjadi sebuah keharusan. Transparansi, evaluasi berbasis kinerja, serta pembatasan tunjangan yang tidak relevan dengan fungsi legislasi harus segera diwujudkan. Jika tidak, maka kepercayaan publik terhadap institusi legislatif akan terus terkikis, dan demokrasi hanya akan menjadi panggung formalitas tanpa substansi.

Politik tanpa moral akan menjadi jalan menuju kehancuran. DPRD seharusnya menjadi teladan dalam kesederhanaan, kedisiplinan, dan keberpihakan pada rakyat, bukan justru menjadi simbol keserakahan anggaran. Kritik ini kami sampaikan sebagai seruan moral, agar DPRD Jawa Barat kembali menunaikan amanahnya dengan adil dan bijaksana.

Terakhir, Hima Persis Jawa Barat berkomitmen untuk terus menjalankan fungsinya sebagai control sosial dan moral. Kami mengkritik keras ketidak pekaan wakil rakyat Jawa Barat terhadap kondisi masyarakat hari ini.

Jangan sampai situasi seperti ini dibiarkan tanpa ada upaya evaluasi kinerja yang menyeluruh, karena kami melihat ada potensi menuju krisis legitimasi fundamental yang berakar pada runtuhnya kontrak sosial antara rakyat dan perwakilanya di kemudian hari.